Ternyata hidup di Singapura begitu susah

Ternyata hidup di Singapura begitu susah
Advertisement

Singapura adalah negara dengan luas wilayah kecil.

Kita sering mendengar bahwa perekonomian Singapura sangat bagus dan termasuk negara maju.

Tapi benarkah kehidupan semua warga negara Singapura sejahtera?

Seorang warga negara Singapura menulis artikel atau lebih tepatnya curhat.

Mohamed Danish menceritakan bagaimana susahnya hidup di Singapura, lalu diterjemahkan oleh M. Andre Aizar.

Pemerintah Singapura telah berhasil mengubah Singapura menjadi negara kota metropolitan dalam waktu kurang dari 50 tahun.

Itu tentunya merupakan suatu pencapaian besar.

Namun, dibalik itu, ada sisi gelap yang hanya dirasakan oleh kalangan menengah dan bawah di negara kami.

Para lansia di Singapura tetap harus bekerja keras padahal mereka seharusnya menikmati hasil kerja keras mereka di usia tua.

Hal tersebut hanya dirasakan oleh keluarga berpenghasilan rendah hingga menengah yang gajinya sebagian besar digunakan untuk sewa rumah dan tagihan yang mahal.

Berikut beberapa alasan menurut dia:

Alasan pertama : Overpopulasi.

Per September 2019, populasi Singapura mencapai 5,8 juta.

Pemerintah memprediski populasi negara kami bisa mencapai 6,9 juta pada tahun 2030.

Total luas tanah negara Singapura hanya 721 km persegi.

Kepadatan populasinya adalah 8.274 orang per kilometer persegi.

Bayangkan harus berdesak-desakkan setiap kali berangkat kerja.

Bayangkan antrian orang-orang saat jam makan siang.

Alasan kedua : Transportasi.

Pada jam-jam sibuk, sering kali terjadi kerusakan kereta MRT.

Penduduk setempat selalu bercanda bahwa pemerintah tidak pernah menyebut masalah tersebut sebagai gangguan.

Sebaliknya, ini disebut sebagai “kesalahan” kereta.

Sederhananya, jalur MRT kami tidak pernah dibangun untuk men-support kereta sebegitu banyak dengan frekuensi 1-2 menit sekali.

Alasan mengapa kereta kami harus memiliki frekuensi 1-2 menit adalah karena ada terlalu banyak orang yang menunggu di stasiun.

Bayangkan melihat pemandangan ini seminggu sekali rata-rata setelah seharian bekerja keras.

Alasan ketiga : Hari tua kurang bahagia.

Atau kurang pensiun. Usia pensiun minimum di Singapura adalah 62 tahun secara hukum.

Ini berarti, perusahaan Anda tidak dapat meminta Anda untuk pensiun sebelum berusia 62 tahun selama Anda seorang warga negara Singapura atau Penduduk Permanen.

Ada pepatah di antara para lansia di Singapura: “Bekerja sampai mati”.

Untuk dapat mencari nafkah di Singapura, seseorang harus bekerja sampai tidak bisa berjalan lagi.

Sebagian besar lansia kami bekerja sebagai pembersih di pusat perbelanjaan atau di tempat makan cepat saji.

Beberapa bahkan mengumpulkan kardus di jalanan, yang lain menjual tisu.

Ini hanyalah beberapa contoh besar di mana sebagian besar dari kita di Singapura menerima kenyataan bahwa untuk tetap mendapatkan penghasilan, kami harus benar-benar bekerja sampai mati.

Itulah beberapa alasan versi Mohamed Danish mengapa tingkat stres di Singapura cukup tinggi walaupun Singapura termasuk negara maju.

Advertisement

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

you're currently offline